FENOMENA mahasiswa ngobyek (kerja sambilan) kiranya bukan hal baru. Banyak dari mahasiswa tersebut mencari tambahan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan kuliah yang semakin menggunung (apalagi setelah pemberlakuan otonomi kampus).

Kuliah sambil bekerja tidak lagi menjadi barang langka dan hanya dilakukan mahasiswa yang lemah dalam ekonomi, karena kenyataannya biaya hidup sehari-hari seringkali tidak sebanding dengan uang saku yang diberikan oleh orang tua mereka.

Sekarang ini, para mahasiswa yang berasal dari kalangan the have pun tidak sedikit yang beraktivitas untuk menambah uang saku mereka.

Terlepas dari itu semua, penulis berusaha menyoroti fenomena ngobyek di kalangan mahasiswa ini dikaitkan dengan perannya sebagai agen intelektual yang diharapkan mampu berkiprah dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Kaum cerdik pandai (kalangan intelektual) kiranya bukanlah sebutan yang baru bagi mahasiswa. Agent of social change juga merupakan panggilan yang kerapkali dilekatkan pada masyarakat kampus ini. Dengan predikat-predikat tersebut, mahasiswa diharapkan dapat membawa dan mensponsori perubahan positif bagi masyarakatnya. Mahasiswa dituntut untuk tanggap terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat dan mampu memberikan alternatif pemecahannya. Mahasiswa dengan berbagai pengetahuan yang telah dimilikinya harus menjadi tulang punggung kekuatan dan kemajuan negara ke depan.

Dengan demikian, fenomena mahasiswa ngobyek seolah menjadi bertentangan dengan semangat perjuangannya sebagai kaum intelektual dan aktivis gerakan. Asumsinya, ketika mahasiswa bekerja (ngobyek) tentu mereka hanya berorientasi pada kepentingan dirinya, tidak untuk kepentingan yang lebih besar (negara dan bangsa).

Dalam catatan sejarah, peran mahasiswa sebagai agen perubahan kiranya tidak diragukan lagi. Mahasiswa dalam banyak hal mampu menjadi kekuatan penekan bagi pengambil kebijakan untuk membuat regulasi-regulasi yang berpihak kepada kepentingan masyarakat. Gerakan kaum intelektual pada 1908 (Boedi Oetomo), lalu ide tentang Indonesia bersatu melalui Sumpah Pemuda (1928), dan gebrakan kaum cendekia 1945 yang telah melahirkan kemerdekaan Indonesia yang merupakan tuntutan sekaligus impian masyarakat saat itu.

Gerakan-gerakan mahasiswa juga berpengaruh kuat bagi jatuh-bangunnya sebuah rezim pemerintahan. Hal itu dapat dimulai pada 1966 ketika mahasiswa mampu berperan penting terhadap tumbangnya rezim Soekarno dan dilanjutkan jatuhnya rezim otoriter Soeharto (1998) ketika peran mahasiswa begitu dominan melalui gerakan reformasi totalnya. Nah dilihat dari perjalanan sejarah tersebut, seolah mahasiswa senantiasa identik dengan sang pahlawan bagi masyarakatnya.

Akan tetapi, pada sisi lain kita juga tidak dapat memungkiri bahwa banyak dari gerakan mahasiswa tersebut tercemari dengan aneka ragam titipan kepentingan. Ada istilah "demo bayaran" atau "isu titipan" dan sebagainya. Kemudian sikap independen dan objektif yang menjadi keharusan dalam perjuangannya tidak dapat dijalankan secara ideal. Dan lebih ironis lagi, seringkali kita mendengar banyak dari gerakan mahasiswa yang "melacurkan diri" hanya karena tuntutan perut an-sich. Dari sini lantas muncul pertanyaan, ada apa dengan mahasiswa?

Berdasarkan paparan di atas sebenarnya ada dua kepentingan sekaligus yang harus dipenuhi oleh mahasiswa ketika mereka melakukan sebuah gerakan/kegiatan, yaitu kepentingan sosial-kemasyarakatan dan kepentingan individualnya.

Pertama, kepentingan sosial-kemasyarakatan mahasiswa, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh mahasiswa dalam kaitannya dengan lingkungan di luar dirinya. Dengan kata lain, mahasiswa diharuskan mampu menjadi "berkah" bagi lingkungan yang lebih besar, yaitu masyarakat, bangsa, dan negaranya. Contoh konkretnya melalui gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa terhadap rezim otoriter, gerakan advokasi terhadap buruh, gerakan pendidikan politik masyarakat, dan upaya-upaya perubahan demi kesejahteraan rakyat.

Kedua, kepentingan individual mahasiswa, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi mahasiswa sebagai individu. Contoh kecilnya melalui bekerja cari duit, menyelesaikan SKS, pelatihan keterampilan, les bahasa asing dan lain-lain. Dengan adanya dua kepentingan tersebut, mahasiswa terkadang dihadapkan pada situasi yang dilematis, sehingga tidak jarang kepentingan sosial-kemasyarakatan dinomorduakan demi mencukupi tuntutan-tuntutan (persoalan-persoalan) dari kebutuhan individualnya. "Demo bayaran" adalah salah satu fakta terjadinya konflik kepentingan dalam diri mahasiswa tersebut. Dengan demikian, apabila mahasiswa tidak memiliki kontrol diri dan manajemen diri yang memadai, konflik kepentingan ini akan terus terjadi, bahkan berlanjut sampai mereka meninggalkan status mahasiswanya dan masuk ke dalam kehidupan nyata.

Dalam kacamata penulis, fenomena mahasiswa ngobyek merupakan sebuah upaya untuk mengatasi kepentingan individual mahasiswa (masalah finansial misalnya) yang terkadang menjadi penghalang bagi mereka untuk berbuat sesuatu yang lebih besar dan bermanfaat bagi bangsa dan negaranya.

Manfaat

Kemudian apabila ditelusuri, ada beberapa manfaat penting dari fenomena mahasiswa ngobyek tersebut. Pertama, mahasiswa mampu berbuat praksis. Artinya, mahasiswa tidak lagi terjebak pada wacana-wacana teoretis saja, tetapi juga mampu mengaplikasikan apa yang telah dia dapatkan di kampus ke dalam pekerjaannya. Sebab, dalam dunia kerja mahasiswa dihadapkan pada persoalan-persoalan riil yang harus mampu mereka pecahkan secara tepat dan cepat.

Kedua, mahasiswa mampu bersikap lebih independen dan konsisten. Kenyataan sering membuktikan, hanya karena diberi handphone, mendapat uang saku tambahan, dan tercukupinya beberapa keperluan material lainnya, mahasiswa lantas mau bertindak yang bertentangan dengan kepentingan yang lebih besar.

Ketiga, mahasiswa mampu berpikir lebih kreatif. Pengalaman yang didapat mahasiswa pada saat bekerja di luar jam kuliah akan berpengaruh terhadap jiwa kewirausahaannya. Keempat, mahasiswa memiliki jiwa profesionalisme. Mahasiswa telah terbiasa dalam lingkungan yang dinamis dan kompetitif, sehingga peluang untuk melakukan praktik-praktik manipulatif tidak diberi ruang yang cukup. Kemudian yang muncul adalah benih-benih profesionalisme dan lambat laun akan menjadi ciri khas sang mahasiswa tersebut. Pada saatnya nanti, sang mahasiswa tersebut kelak mampu membawa pengalamannya ke dunia riil.

Dengan demikian, tidak ada lagi cibiran bagi mahasiswa yang ngobyek karena ternyata justru memunculkan pengalaman-pengalaman tambahan yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungan sekitarnya.

courtesy : Anjar Budiani - Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip