Ada banyak orang yang begitu mengagungkan rasa gengsi tanpa sadar bahwa itu menghancurkan hidupnya.

Ketika melakoni pekerjaan sebagai penjual es di pasar Ciputat, saya ditanya seorang kawan cewek, “kamu itu ga malu ya diketahui kawan-kawan?”.

Kala itu saya masih tercatat sebagai mahasiswa IAIN Ciputat (sekarang UIN) dengan status cuti –cuti karena sudah tak mampu lagi bayar uang kuliah dan membiayai hidup sendiri sambil kuliah. Menjual es menjadi pilihan kala itu.

Sebenarnya sih biaya kuliah saya kala itu ga mahal-mahal amat: cuma 180 ribu per semester. Setara dengan 30 ribu perbulan. Tapi duit sebanyak itu, bagi saya, sangat besar. Jangankan nyisihin duit 30 ribu perbulan, buat makan saja lebih sering ga cukupnya. Tetapi keinginan untuk menyelesaikan kuliah tetap menggebu. Maka, demi menyelamatkan kuliah, jadi pedagang di pasar ciputat pun dilakoni, salah satunya dengan berjualan es itu.

Menurut akal sehat mahasiswa lain, mungkin, mahasiswa jualan es di pasar…gengsi dong! Bisa jadi dipandang sebagai menurunkan  derajat, pekerjaan rendahan.  Oleh karenanya, sedapat mungkin jangan sampai diketahui kawan, apalagi ngasih tahu.

Tapi rasa seperti itu ga ada di kamus hidup saya. Alih-alih sembunyi jika kawan lewat, saya malah memanggil mereka untuk mampir, kasih minum gratis, sambil nanya informasi kampus. Karena “tak tahu malu” saya itu lah kemudian muluncur pertanyaan seperti di atas dari kawan saya tersebut.

Jawaban saya singkat padat aja terhadap pertanyaan kawan tadi. “Kenapa harus malu. Qw harus bangga dong. Qw ini lebih mandiri daripada kalian yang nadah ke ortu.”

Kadang saya juga bertanya ke diri sendiri kenapa ‘ga gengsian’. Setelah dicoba cari jawabnya, kemungkinan penyebabnya karena yang satu ini: TERLALU AKRAB DENGAN KETERDESAKAN HIDUP. Akhirnya  ga sempat lagi memilah-milih mana yang harus di-gengsiin mana yang tidak..hehe.

Dan Alhamdulillah, meski kondisi keterdesakan hidup tidak lagi seperti dulu, dan cenderung sudah enak, perasaan gengsi itu masih jauh aja. Dan nauzubillah, semoga perasaan gengsi itu dijauhkan Tuhan dari saya.

Pada saat sekarang saya berkesimpulan begini: gengsi itu adalah makhluk buas. Ia siap mencelakakan anda jika anda memeliharanya.

Gengsi itu lahir dari cara kita mempersepsi sesuatu sebagai “terhormat” atau “hina”. Karena persepsi, maka sifatnya sangat subjektif. Hina menurut seseorang bisa jadi mulia menurut orang lain. Seperti contoh pekerjaan yang saya lakoni tadi: apakah berjualan es masuk kategori  pekerjaan hina sehingga saya harus malu menjalankannya? Menurut saya tidak. Ini pekerjaan mulia sama sekali. Dan ia tidak melanggar UU apapun di dunia ini. Dan yang melakoni pekerjaan jualan es ratusan ribu orang di seantero dunia.  Lalu, kenapa harus gengsi melakoninya hanya karena saya seorang mahasiswa?

Dunia yang kita huni ini ternyata sudah dikapling-kapling oleh pembikin citra. Ini imbas dari zaman industrialisasi dan teknologi. Pekerjaan-pekerjaan kasar, berdebu, berlumpur, atau memeras keringat seringkali dikategorikan ke dalam kelompok pekerjaan hina, rendahan. Pekerjaan seperti memulung, kuli angkut, jualan keliling, sopir angkot, bertani, asongan, kaki lima, masuk dalam kategori ini. Pekerjaan ini hanya layak dikerjakan oleh orang berpendidikan rendah.

Sementara pekerjaan kantoran atau yang berkaitan dengan industri dan teknologi dianggap sebagai pekerjaan mulia. Mereka yang berpendidikan tinggi selayaknya bergiat di pekerjaan mulia ini (meski pun penghasilannya  jauh lebih rendah dibanding pekerjaan hina tadi).

Ada banyak orang yang merasa “terhormat”, lebih rela menjadi penggangguran daripada harus melakoni pekerjaan “hina”. Kalaupun ia harus melakoni pekerjaan “hina”, maka ia tidak ingin diketahui oleh kawan-kawannya….gengsi dong..!

Secara akal sehat, mereka yang bergelar sarjana tidak akan pernah menjadi pengangguran. Karena, mereka adalah kelompok minoritas terdidik. Orang tamatan SD saja bisa tidak menjadi pengangguran kok, apalagi sarjana. Hanya saja kenyataannya, kita masih sering melihat sarjana jadi pengangguran, itu fakta.

Sarjana yang menjadi pengangguran, kemungkinan karena dia kena virus gengsi tadi. Dia sudah memilah-milih pekerjaan yang “terhormat” dan “hina” untuk dia. Dia memelihara cara pikir begini: “klo ga dapat pekerjaan seperti ini, yo sudah….lebih baik nganggur.” Atau “daripada jadi pedagang es (misalnya) lebih baik ga..biar lah saya nganggur aja. Sarjana kok….”

Artinya, bukan lahan pekerjaan yang kurang untuk sang sarjana itu, tapi jenis pekerjaan yang tersedia, seperti jualan es, pedagang kaki lima, bertani, sales keliling, dsb., menurut pikirannya tidak ‘layak” untuk dirinya. Virus gengsi…

Kalau contoh yang satu ini betul-betul membunuh. Seorang nelayan yang hendak pulang menuju pulau A terjebak oleh amukan angin kencang di tengah lautan. Arah angin berasal dari pulau A yang dia tuju. Kalau ingin selamat, maka ia harus mengubah haluan kapal menuju pulau B. Hanya saja,  Pulau B ini adalah pulau perkampungan yang pernah dihitamkannya, bahwa dia mengharamkan sauhnya berlabuh di pulau itu apapun yang terjadi. Dalam keadaan gawat tersebut dia masih saja berpikir: “kalau saya belabuh di pulau B, apa kata orang, gengsi dong, itu namanya menelan air ludah sendiri.”  Si nelayan tadi pun memilih untuk bertahan dalam badai, dan akhirnya karam.

courtesy:www.buyawongcilik.com