Semenjak bergulirnya globalisasi, pendidikan menjadi satu dari empat element (ekonomi, iptek, dan lingkungan) yang mempunyai daya pengaruh yang kuat terhadap segala aspek kehidupan dan bersifat holistik. Semua pihak pun setuju bila pendidikan yang bermutu merupakan suatu tuntutan primer & kita, terlebih yang mengaku sebagai mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia ilmu kependidikan pastinya akan sepenuh hati untuk memperjuangkannya.
Sebuah gagasan yang pernah terlontar dalam sebuah media menggelitik pemikiran saya mengenai standarisasi sekolah yang akhirnya berdampak termarginalkanya masyarakat kecil untuk mendapatkan pendidikan yang didambakan. Standarisasi yang berlaku bagi setiap sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan formal, baik itu sekolah bertaraf intenasional hingga sekolah berstandar nasional atau yang hanya malah lolos akreditasi maupun yang berstatus disamakan. Tak terlepas, universitas yang kita banggakan ini turut serta menyongsong dirinya sebagai World Class University.
Tentu saja tak ada yang salah dengan hal-hal tersebut. kesemua itu merupakan salah satu langkah dari sekian banyak yang ada dalam tercapainya peningkatan pendidikan berkualitas. Sebagaimana yang telah menjadi paradigma umum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita mengenai pendidikan Indonesia yang tak ada habisnya mendapatkan stigma negatif dan selalu kita pertanyakan kualitasnya. Maka dengan adanya standarisasi bagi tiap sekolah setidaknya mampu menjadi kekuatan positif dalam membangun mutu pendidikan kita dan selayaknya kita mengapresiasi secara positif.
Tentu dengan berlakunya ketetapan tersebut maka turut berimbas pada penyelenggaraan pendidikan formal jalur sekolah tersebut, tak terkecuali dengan masalah biaya operasional pelaksanaan. Dengan semakin tinggi mutu yang ditawarkan maka secara logis biaya pun juga akan turut naik. Isu mengenai biaya pendidikan pun kemudian menjadi bahasan yang diwacanakan di masyarakat saat ini. Bahkan masyarakat yang dengan pendapatan ekonomi rendah & menengah ke bawah akhirnya menjadi objek yang seakan-akan merupakan korban dari proses dinamika pendidikan di Indonesia. Dimana masyarakat dengan level semacam itu hanya patut mendapatkan pendidikan sesuai levelnya. Kebebasan memilih sekolah mana yang diinginkan hanya milik mereka yang berkantong tebal.
Secara bijak, tak sesederhana itu kita memandang polemik itu. Bahwasanya tak sesempit itu bahkan tertutup kemungkinan peluang untuk dapat menempuh pendidikan seperti yang didambakan. Sebagai misal; sekolah semacam Rintisan SMA Berstandar Internasional Negeri 2 Ngawi, biaya yang harus dikeluarkan untuk tiap bulannya tak kurang dari Rp. 200.000,- itu pun belum termasku biaya insidental dan lain sebagainya. Bagi kalangan menegah ke bawah tentu hal tersebut menjadi hambatan dalam menempuh pendidikan. Tapi bila calon anak didik mampu menunjukkan kompetensi dirinya, raihan prestasi selama di sekolah menengah pertama maka bukan tidak mungkin kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di sekolah tersebut mampu dia dapatkan tanpa ditarik uang sepeserpun. Sedari situ kesempatan-kesempatan beasiswa untuk melanjutkan study ke perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi luar negeri pun akan ada & terbuka untuk diraihnya.
Sudah seharusnya dengan problematika seperti ini menjadi batu loncatan, cambuk dalam meningkatkan motivasi dan semangat juang para calon peserta didik sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi untuk mampu berkompetisi dan berkompetensi. Berkompetisi untuk mendapatkan hal yang baik secara positif melalui kompetensi. Maka dengan sadar akan melihat kemampuan dirinya sendiri dan mempersiapkan yaitu dengan belajar dan pengoptimalan kemampuan diri. Dengan begitu akan muncul calon-calon yang sedari awal memupuk diri dengan berkomitmen kuat dan berdaya juang tinggi serta yang tak kalah penting ialah berkompetensi. Secara tidak langsung bila proses pendidikan kita diwarnai dengan pelajar yang bermotivasi positif untuk berprestasi secara sehat maka kualitas pendidikan pun akan turut naik.
Biaya pendidikan memang tetap mejadi masalah pelik bagi pendidikan negeri ini, tapi dengan berikir dan diikuti tindakan yang positif maka secara perlahan mampu untuk kita minimalisir. Tukas Prof. Dr. –ing wardiman djojonegoro “Pembangunan pendidikan Indonesia belum selesai”, “Lihat berapa juta anak yang belum mendapatkan pendidikan dasar /“basic education”, mutu pendidikan kita jauh tertinggal dan tema yang selalu kembali setiap tahun adalah mahalnya pendidikan kita. Jayalah pendidikan Indonesiaku.

cortesy: edukasi.kompasiana.com